Senin, 21 Juni 2010

candi ceto di solo


candi ceto yang Terletak di dusun Ceto tidak jauh dari Sukuh. Ceto yang jalannya diwaktu hujan sangat kurang aman untuk dijalani karena masih agak rusak dan licin disana-sini, di samping jalan sering terlihat jurang, jadi agak berhati-hatilah dijalan sempit ini. Candi Ceto dahulunya berarkeologi klasik, dan sewaktu ditemukan terdiri dari 11 teras dimuka yang penuh dengan ornamen batu rebah yang melambangkan hiasan bola dilehernya, serta bentuk batu datar berbentuk segi tiga dengan hiasan-hiasan fauna lambang kesuburan seperti tiga katak, seekor fauna laut yang disebut mimi, seekor belut dan tiga ekor kadal. Candi ini sarat dengan lambang-lambang kosmis dengan lingga sebagai patokan Gunung Meru. Baik Sukuh maupun Ceto diperkirakan merupakan perpaduan budaya jawa kuno dan Hindhu India. Walaupun sering disebut dibangun oleh raja-raja Wangsa Brajawijaya, namun sampai saat ini hakekat sejatinya masih samar-samar. Sayang pemugaran Candi Ceto oleh orang-orang dan pejabat Orde Baru sangat merusak Candi Ceto karena tidak mengikuti pola candi asli yang seharusnya,sehingga merusak kesejatian candi.

Candi Ceto terasa aneh dan angker serta bernuansa gaib, sehingga sering menjadi ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin di candi ini dan di Candi Sukuh. Memasukinya saja sudah terasa magnitnya. Bangunan gapura utama, bertangga undak lurus ketanah yang lebih tinggi ke candi induk diatas dalam susunan candi-candi Shiwa yang terdiri dari tiga loka (Bhur, Bwah dan Swah). Berbagai gapura harus dilalui sebelum tiba dipuncak candi. Candi ini sebenarnya baik untuk bersemedi secara pamrih dan non-pamrih. Candi yang unik ini sebaiknya dikunjungi untuk sembahyang / bermeditasi. Museum Radya Pustaka di Jalan Slamet Riyadi Solo, banyak memuat koleksi buku-buku penting candi diatas dan harus dikunjungi.

Candhi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindhu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba; punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berapa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakt Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan.

Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan penasehat spiritual dari beliau.Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong. Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “Mahadewa”. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang “berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta” yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan dimuka bumi.

Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada penguasa semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2. Candi Ceto menghadap kearah Timur berarti dengan candi-candi yang ada di Jawa-Tengah karena Candi Ceto begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu di gunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan disebelah Barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek. Namun sayang sekali penggalian candi sampai saat ini belum dilakukan. Hal ini memerlukan perhatian dari Dinas Kepurbakalaan setempat dan instansi terkait.

Bangunan Candi Cetho secara keseluruan terbuat dari batu-batuan yang dipahat berbentuk segi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah mengalami banyak kerusakan. Mungkin karena usia dan keusilan tangan-tangan jahil yang tak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi serta kepuasan semata atau karena sebab-sebab lain yang hanya sejarah yang dapat menjawabnya. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu sebelah Barat masuk di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan Rimba dan sejuknya udara kebun teh kemuning, menjanjikan keindahan panorama alam untuk bersama kita nikmati. Dan tentunya menambah wawasan kita tentang kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.